Monday, November 28, 2016
Pancasila di Mata Dunia
Sebagai dasar dari Negara kita tercinta, Indonesia, tentunya Pancasila bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Apalagi seharusnya kita sebagai generasi penerus bangsa harusnya menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Walaupun pada kenyataannnya sekarang bahwa keberadaan Pancasila dipandang sebelah mata sehingga timbul banyak penyimpangan. Bahkan yang lebih ironis lagi, banyak pula generasi sekarang ini yang bahkan tidak mampu menghafal 5 sila dari pancasila itu sendiri. Contoh penyimpangan lain misalnya banyaknya Pancasila di Mata Dunia tawuran antar pelajar dan korupsi yang belum dapat kita atasi.
Saya pribadi pun mungkin merasakan dan berpikir bahwa Pancasila tidak banyak berperan di dalam kehidupan saya karena saya tidak mengenal Pancasila itu banyak diamalkan dan terkesan membosankan. Namun setelah saya mempelajarinya lebih jauh di bangku kuliah pada mata kuliah Pendidikan Pancasila, saya menyadari bahwa ternyata nilai-nilai Pancasila begitu kompleks. Sangat memperhatikan detail dari Negara kita sendiri. Tercermin pada 5 sila nya yang memang merupakan esensi dasar yang sangat penting bagi Negara, mulai dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Hal luar biasa mengenai pancasila juga baru saya ketahui saat membaca sebuah berita di salah satu halaman berita website antara.com bahwa Pancasila sejak dari dulu sebenarnya sudah banyak diakui oleh beberapa petinggi ataupun profesor Negara lain sebagai dasar negara yang sempurna. Berikut penjelasan yang dimuat di portal berita online tersebut :
· 1. Prof. Dr. Pyotr Hessling ,di kota Rotterdam, Belanda, 20 Oktober 1990
Beliau mengasuh mata kuliah Studi Internasional Organisasi dan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam di hadapan para staf asistennya yang sedang dibimbingnya menyelesaikan thesis Ph D, tiga orang berasal dari Indonesia Soeksmono Besar Martokoesoemo, Petrus Suryadi Sutrisno dan Santo Koesoebjono serta Penelope (Penny) Webb, asistennya Michael Porter, secara mengagumkan menjelaskan konsep “musyawarah” dan “mufakat” ala Indonesia sebagai dasar dalam pembangunan kelembagaan bagi suatu organisasi dan manajemen.
· 2. Datuk Seri DR Mahathir Mohammad, di saat resepsi pernikahan Marina Mahathir, puteri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia pada Juni 1986
Satu dari tiga pendukung utama kepemimpinan Mahathir Mohammad yang hadir di resepsi sempat mendiskusikan pentingnya rakyat Malaysia belajar nilai-nilai (asas) kenegaraan kebangsaan, seperti Pancasila, meskipun Malaysia juga memiliki Rukun Negara yang juga berisi lima dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat itu salah seorang pendukung Mahathir mengatakan, betapa pentingnya nilai-nilai pemersatu, nilai-nilai kebersamaan dan kesadaran menciptakan suasana kehidupan sosial yang selaras, serasi dan toleran.
· 3. Mahasiswa yang mempelajari ilmu politik di Universiti Kebangsaan Malaysia menjelang era 1990 an
Mengatakan bahwa teman-teman di Indonesia memiliki faktor pengikat atau pemersatu yang kokoh dibandingkan Malaysia, faktor pengikat itu adalah nilai-nilai Pancasila.
· 4. Presiden AS Barrack Obama saja ketika didaulat bicara di kampus Universitas Indonesia Depok, 10 November 2010
Menyebut Pancasila secara positif. Hal itu sekali lagi ikut membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila memiliki sisi yang universal bukan hanya nilai-nilai lokal yang diakui makna dan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia tapi juga di luar bumi Indonesia.
Dari sedikit uraian diatas seharusnya kita merasa malu bahwa selama ini kita banyak mengabaikan dasar Negara kita yang bahkan dimata dunia pun dipandang sangat sempurna dibandingkan dengan Negara-negara lain. Semoga melalui tulisan singkat ini tidak hanya berguna bagi saya sendiri,tetapi juga dapat menggugah hati teman-teman sebagai generasi penerus bangsa.
sumber :
http://www.antaranews.com/berita/261846/sisi-universal-pancasila-di-mata-dunia
http://risarah.blogspot.co.id/2013/01/pancasila-di-mata-dunia.html
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ya, sesuai dengan judul artikel ini, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Tentu frasa ini sudah tidak asing di telinga rakyat Indonesia, yang merupakan sila ke-5 dari Pancasila. Pancasila, yang menjadi ideologi bangsa Indonesia, yang menjadi landasan pokok atas setiap perbuatan dan keputusan yang diambil oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagai dasar pengambilan keputusan, apakah sila ke-5 ini sudah benar-benar melekat pada diri rakyat Indonesia? Mari kita lihat.
Menurut suaramerdeka.com, seorang remaja berusia 15 tahun kedapatan mencuri sendal jepit butut terancam menerima hukuman 5 tahun penjara. Bisa dibandingkan dengan koruptor-koruptor di Indonesia yang meneruma hukuman rata-rata 2-3 tahun penjara. Seorang remaja yang mencuri sepasang sendal jepit hukumannya lebih berat dibandingkan koruptor yang mencuri uang rakyat senilai milyaran rupiah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia runcing ke bawah, tumpul ke atas. Sudah banyak kasus-kasus seperti di atas yang mencerminkan ketidakadilan sosial di Indonesia. Saking banyaknya, penulis berpendapat bahwa demokrasi Pancasila yang seharusnya diterapkan di Indonesia sudah digantikan oleh demokrasi oligarki. Yaitu demokrasi dimana pemerintahan yang dikuasai oleh kaum elit politik yang mempunyai kekayaan material. Para pemimpin saat ini berasal dari golongan pengusaha kaya. Para calon pemimpin pun harus membeli politik jika ingin terpilih.
Sekarang ini, bukan lagi kaum miskin yang menjadi sasaran hukum di Indonesia. Selain masyarakat buta hukum dan tertindas, bahkan akademisi, aktivis, dan penegak hukum yang ingin memberantas tikus-tikus rakyat ini juga menjadi sasaran pedang aparat penegak hukum. Dengan situasi yang seperti ini, demokrasi Pancasila di Indonesia telah tergelincir, telah kehilangan jati diri Indonesia yang telah dibangun oleh susah payah oleh para pejuang kemerdekaan. Hukum tidak dijalankan secara konsisten. Undang-undang yang mengatur segala hal bagaikan disingkirkan dalam pelaksanaanya. Undang-undang hanya sebuah sekumpulan kata dan kalimat yang dibungkam dan tak berdaya dalam meja hijau.
Sudah saatnya Indonesia membutuhkan seorang pemipin yang benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi Pancasila dan menolak segala negosiasi dengan oknum-oknum oligarki, serta memiliki kapabilitas dan tekad yang kuat sehingga tidak termakan nafsu oligarki.
Menurut suaramerdeka.com, seorang remaja berusia 15 tahun kedapatan mencuri sendal jepit butut terancam menerima hukuman 5 tahun penjara. Bisa dibandingkan dengan koruptor-koruptor di Indonesia yang meneruma hukuman rata-rata 2-3 tahun penjara. Seorang remaja yang mencuri sepasang sendal jepit hukumannya lebih berat dibandingkan koruptor yang mencuri uang rakyat senilai milyaran rupiah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di Indonesia runcing ke bawah, tumpul ke atas. Sudah banyak kasus-kasus seperti di atas yang mencerminkan ketidakadilan sosial di Indonesia. Saking banyaknya, penulis berpendapat bahwa demokrasi Pancasila yang seharusnya diterapkan di Indonesia sudah digantikan oleh demokrasi oligarki. Yaitu demokrasi dimana pemerintahan yang dikuasai oleh kaum elit politik yang mempunyai kekayaan material. Para pemimpin saat ini berasal dari golongan pengusaha kaya. Para calon pemimpin pun harus membeli politik jika ingin terpilih.
Sekarang ini, bukan lagi kaum miskin yang menjadi sasaran hukum di Indonesia. Selain masyarakat buta hukum dan tertindas, bahkan akademisi, aktivis, dan penegak hukum yang ingin memberantas tikus-tikus rakyat ini juga menjadi sasaran pedang aparat penegak hukum. Dengan situasi yang seperti ini, demokrasi Pancasila di Indonesia telah tergelincir, telah kehilangan jati diri Indonesia yang telah dibangun oleh susah payah oleh para pejuang kemerdekaan. Hukum tidak dijalankan secara konsisten. Undang-undang yang mengatur segala hal bagaikan disingkirkan dalam pelaksanaanya. Undang-undang hanya sebuah sekumpulan kata dan kalimat yang dibungkam dan tak berdaya dalam meja hijau.
Sudah saatnya Indonesia membutuhkan seorang pemipin yang benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi Pancasila dan menolak segala negosiasi dengan oknum-oknum oligarki, serta memiliki kapabilitas dan tekad yang kuat sehingga tidak termakan nafsu oligarki.
Monday, November 21, 2016
Menyelamatkan Generasi Emas Indonesia
Ditengah kelesuan usaha ekonomi sekarang, usaha bisnis rokok
mencatat keuntungan besar.
Menyasar usia muda
Komposisi produksi rokok yang mengandalkan pasarannya secara
khusus pada perokok usia muda karena konsumen perokok muda melanggengkan pasar
rokok sampai usia tua.
Sementara itu, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat kini
sedang menggodok RUU tentang Pertembakauan yang secara eksplisit menyebut bahwa
tembakau merupakan warisan budaya Indonesia. Padahal dalam Undang-Undang No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan telah secara gamblang dinyatakan bahwa nikotin
mengandung ciri adiktif yang membangkitkan ketagihan sehingga pemakai nikotin
menjadi budak kecanduannya.
Tampaklah sikap lunak mantan Menteri Perindustrian Saleh
Husin dan Badan Legislasi DPR dalam mendukung sikap ofensif industri rokok.
Namun, semua ini justru membuka mata masyarakat.
Perlawanan masyarakat
Yang menjadi sebab utama sebab utama bangkitnya perlawanan
adalah sifat frontal industri rokok merebut generasi muda dalam pasar rokoknya.
Puncak usia perokok dini adalah 15-19 tahun yang mencapai 57,3 persen perokok
laki-laki san 29,2 persen perokok perempuan (2013).
Tanpa
perokok dini, industri rokok tidak bisa berlanjut jika hanya mengandalkan
perokok usia dewasa.
Namun,
rokok mengandung nikotin yang jika diisap merusak bagian depan otak manusia
yang menurut para ahli berfungsi kognitif dan tumbuh berkembang terutama
menjelang usia dewasa 20 tahun. Kadar intelektualitas, kemampuan pengambilan
keputusan, perkembangan logika, semua ini terletak dalam bagian depan otak
manusia ini. Dengan demikian, sama saja perusahaan industri rokok menghancurkan
potensi kreativitas generasi muda. Disinilah terletak inti konflik antara
kepentingan industri rokok dan kepentingan bangsa.
Apalagi jika diingat bahwa Indonesia sedang menghadapi bonus
demografi di tahun-tahun 2015-2040 sehingga berpotensi menghasilkan generasi
emas yang penuh elan dan vitalitas membawa Indonesia ke gerbang lepas landas
selambat-lambatnya di tahun 2045. Generasi emas ini hanya bisa berhasil
memimpin Indonesia lepas-landas apabila mutu kualitasnya mencapai puncak
kemampuannya. Karena itu, secara mutlak perlu diusahakan agar generasi muda
kita terlepas dari ancaman nikotin rokok. Lebih banyak usaha perlu ditumbuhkan
untuk menyelamatkan generasi emas 2045.
Friday, November 18, 2016
Membentuk Karakter Bangsa dengan Pancasila
Bangsa Indonesia
harus kembali mengembangkan nilai-nilai ideal Pancasila sebagai karakter
bangsa. Untuk itu pemerintah dan masyarakat mesti mensosialisasikan dasar
Negara secara lebih kreatif sehingga menghasilkan pikiran, sikap,dan tindakan
yang sesuai dengan kelima sila itu. setiap bangsa harus memiliki karakter atau cetakan dasar
kepribadian yang tumbuh dari pengalaman bersama. Bagi bangsa Indonesia,
karakter itu bertumpu pada Pancasila sebagai dasar kelima sila, yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, adalah pandangan
dunia yang visioner dan tahan banting. Namun, nilai-nilai itu sekarang
terabaikan. Karena itu, kita harus kembali mencetak nilai-nilai ideal itu
menjadi karakter kebangsaan dengan mendalami, meyakini, dan mengamalkannya
dalam kehidupan nyata.
Diperlukan sosialisasi Pancasila secara
lebih kreatif dan menyeluruh dalam pemikiran, penjiwaan, dan tindakan.
Kelima sila itu harus diamalkan dengan dasar ketaatan pada hukum,
kesusilaan, keagamaan, dan kodrat hidup bersama. Karakter bangsa juga dapat
ditumbuhkan melalui proses internalisasi dalam budaya di masyarakat. Misalnya,
peribahasa “Tak ada rotan, akar pun jadi”. Peribahasa itu memiliki makna atau
mengajarkan sikap untuk selalu kreatif dan kerja keras. Persoalannya, ketika
diajarkan di sekolah-sekolah, peribahasa seperti itu cenderung hanya menjadi
hafalan dan kurang diinternalisasi dan diterapkan.
Keteladan tokoh juga sangat berpengaru dalam membentuk
karakter bangsa, seperti tokoh agama ataupun tokoh di lingkungan masyarakat,
apalagi tokoh pejabat publik. Lihat saja caleg-caleg, politisi, dan pejabat
publik, sudah tidak memberikan inspirasi dalam membangun karakter bangsa mereka
semua malah sibuk mempertahankan kekuasaan. Karena itu, bangsa Indonesia
membutuhkan tokoh-tokoh yang mampu memberikan keteladanan dalam menumbuhkan
karakter bangsa.
Jadi kuncinya adalah, kita sebagai warga negara Indonesia
yang taat harus serius menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban publik
berdasarkan Pancasila. Kekayaan alam harus memberi
kemakmuran, kekayaan budaya jadi sumber kemajuan, dan keberagaman memberi
landasan hidup rukun. Dan nilai-nilai itu mesti diajarkan sejak usia dini,
misalnya pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sehingga anak-anak sudah mengenal
sejak kecl. Disinilah perang orang tua, sekolah dan lingkungan masyarakat
berperan penting dalam pembentukan karakter. Meski demikian tetap harus
dilakukan program yang terukur dan sistemis agar pembentukan moral dan karakter
Pancasila dapat berjalan sesuai rencana.
Subscribe to:
Posts (Atom)